MENUJU MODEL PENDIDIKAN YANG LEBIH MANUSIAWI
(Aplikasi IQ,EQ dan SQ pada lembaga pendidikan umum)
Oleh:Ilham Radi
(Pemerhati Pendidikan di Takalar)
Dari tragedi Bom Bali hingga tawuran antar pelajar
Serangkaian bingkai kekerasan hingga kepada teror bom yang marak beberapa bulan yang lalu menjadi isu sentral yang hangat dibicarakan mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas,diwarung kopi pinggiran hingga di kafe hotel berbintang .Kondisi ini dapat dikatakan sebagai salah satu indikasi betapa demoralisasi atau menurunnya ahlak telah melanda anak bangsa di negeri tercinta ini tanpa pandang bulu, dikota maupun didesa..Belum lagi kasus-kasus korupsi, isu suap,pembobolan Bank,pembajakan hak cipta dan sebagainya yang telah memporak-porandakan sistem peradilan dan hukum dinegara kita..Ironisnya akar permasalahan ini banyak dipicu oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal yang bukan tidak mungkin ada yang juara kelas ,jago mate-matika,menguasai IPTEK bahkan menjadi siswa teladan disekolahnya dahulu. .Sementara itu dalam kehidupan para pelajar, kita sudah terbiasa mendengar dan membaca dimedia,baik dimedia cetak maupun media eletronik, peristiwa merebaknya tawuran-pelajar yang melanda hampir semua daerah di Indonesia.Kejadian seperti ini sepertinya sudah menjadi “bumbu”dalam kehidupan pelajar kita,sudah bukan hal yang tidak lazim diera persaingan saat ini.
Beberapa indikasi merosotnya ahlak peserta didik
Ada fenomena menarik yang sering kita jumpai dalam kehidupan sosial dimasyarakat kita pada saat ini yakni adanya gejala semakin merosotnya ahlak dan moral peserta didik. Hal ini tercermin dari semakin mencuatnya ke permukaan beberapa persoalan yang memayungi langkah para pelajar kita.Bahkan ada yang sudah mengarah kepada tindakan criminal seperti pencurian,pemerasan.
Dalam konteks kehidupan persekolahan,sering dijumpai kasus-kasus yang mencerminkan betapa merosotnya ahlak peserta didik saat ini. .Kasus-kasus pelanggaran aturan sekolah yang sebenarnya telah disepakati sebelumnya untuk dipatuhi,hingga kepada kepribadian yang menyimpang,termasuk sikap kurang hormat terhadap guru sudah menjadi pemandangan biasa dihampir semua lembaga pendidikan.Ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab antara lain(1).kurangnya jiwa keagamaan dikalangan peserta didik,(2).suasana kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis,(3).perkembangan teknologi dan informasi,(4).tidak terlaksananya pendidikan kepribadian secara efektif disekolah-sekolah.
Jika dicermati,khususnya nomor (4) diatas,cukup realistis,mengingat dalam muatan kurikulum beberapa tahun sebelumnya,,pendidikan kepribadian (kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) tidak mendapat porsi waktu tersendiri secara monolitik. Keberadaannya tidak lebih dari sekedar “pelajaran-selingan “yang terintegrasi pada mata pelajaran lain,misalnya pada pelajaran kewaganegaraan atau pendidikan agama.Sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual yang diintensifkan,bersifat monolitik dan menjadi prioritas utama.Barulah dalam KBK 2004,keberadaannya (kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) mendapat tempat tersendiri(secara lugas dibuktikan dalam rapor dengan adanya kolom afektif),meskipun pengisiannya masih rawan subyektivitisme dan cenderung tidak obyektif. Hal ini karena pemahaman guru yang masih berpatokan pada paradigma lama dan menganggap,anak yang pintar tentulah kepribadiannya baik dan nilai afektifnya bias dipastikan tinggi..Padahal tidaklah demikian,karena kecerdasan emosional haruslah dievaluasi secara independent dengan membuatkan kriteria-kriteria penilaian yang bisa ditentukan oleh guru yang bersangkutan atau melalui musyawarah guru.
Jika dicermati secara lebih mendalam,fenomena diatas secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia ke depan khususnya yang berhubungan langsung dengan persaingan memperebutkan pasar kerja.Asumsi ini berkembang karena berdasarkan temuan-temuan ilmiah,80 % keberhasilan seseorang menggapai cita-cita hidupnya ditentukan oleh kecerdasan emosional dan spiritualnya.Sisanya 20 % ditentukan oleh kecerdasan intelektual yang dimiliki(Ginanjar;2000).
Solusi mencapai perbaikan ahlak
Upaya memperbaiki ahlak,,kepribadian dan moral peserta didik,pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama antara segenap stake holders(orang tua,pihak sekolah dan masyarakat).Upaya-upaya yang dapat dilakuakan antara lain(1)perbaikan ahlak dalam keluarga yang dapat dilakukan sejak dini.Keharmonisan hubungan dalam keluarga perlu dipertahankan,nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan,kebiasaan mengindahkan aturan serta penegakan aturan,(2)melaksanakan pendidikan kepribadian disekolah-sekolah,termasuk penegakan aturan-aturan sekolah sebagai pengatur interaksi di dalam lingkungan sekolah,(3)masyarakat seyogyanya”care”terhadap remaja,artinya masyarakat senantiasa memberi ruang gerak yang cukup bagi perkembangan pribadi remaja kea rah yang lebih positif,(4).peran pemerintah,melalui pembentukan wadah kepemudaan secara aktif mengadakan pembinaan-pembinanan.Selain itu aparat pemerintah haruislah memberi keteladan bagi masyarakat(remaja khususnya).Kasus-kasus kepribadian-ganda yang banyak menghisai kehidupan aparat-pemerintah,pembohongan-publik,korupsi,kolusi,nepotisme dapat menjadi preseden buruk bagi pembentukan kepribadian remaja, yang nota bene berada dalam masa pembentukan jati diri. Karena pada masa pertumbuhannya,kepribadian remaja terbentuk melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh(modeling).
Perlunya menyamakan persepsi
Saat ini dikembangkan sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan lebih care terhadap pembentukan kepribadian peserta didik dalam bentuk penghargaan terhadap keunikan-keunikan yang terdapat pada setiap peserta didik.Dalam KBK 2004 ,sekolah dianggap sebagai tempat dimana kepentingsn setiap pribadi peserta didik dihargai,dan diletakkan sebagai bagian integral dengan kepentinmgan bersama bahkan kepentingan nasional.
Dengan pola pembelajaran tuntas (mastery learning),semua peserta didik diharapkan mampu menyelesaikan semua materi pelajarandengan baik meskipun dengan waktu yang berbeda.
Sebagai sebuah kesadaran baru dalam dunia pendidikan ,pencerahan yang terjadi saat ini perlu direspon dengan sungguh-sungguh ,disikapi sebagai sebuah acuan dilapangan. Guru sebagai ujung tombak seyogyanya mampu mengikuti perkembangan yang terjadi ,meningkatkan kompetensinya sebagai bagian dari profesinya.Begitu pula dengan
pengawas yang memantau langsung dilapangan,perlu dibekali dengan kemampuan yang lebih”baru”,menguasai perkembangan dan mampu membaca perubahan yang ada sehingga setiap saat membawa inovasi bagi sekolah yang dipantau.
Pentingnya pembelajaran afeksi
Secara konseptual ada tiga aspek yang harus ditanamkan kepada peserta didik disekolah,yakni pengembangan aspek intelektuak,aspek keterampilan dan aspek kepribadian.Meskipun secara kontekstual,sekolah-sekolah lebih memusatkan perhatiannya untuk membina kemampuan intelektual,daya nalar dan keterampilan dalam menjawab soal-soal ujian.Aspek kepribadian hanya sebatas memenuhi tuntutan administrasi pada buku laporan perkembangan (pengisian kolom afektif).
Jika dicermati,sebenarnya dalam kehidupan persekolahan terdapat dua kurikulum yang satu sama lain saling melengkapi.Kurikulum yang nampak dan biasa kita baca adalah acuan proses pendidikan yang sifatnya lebih uniform.Adapun kurikulum yang tersembunyi (hidden kurikulum) subtansinya terdapat dalam diri setiap guru.Perwujudannya dalam bentuk kemampuan berimprovisasi pada saat proses belajar-mengajar berlangsung.Selain itu performa guru(sikap,tindakan dan cara menyelesaikan masalah) menjadi suatu hal yang turut berpengaruh bagi perkembangan jiwa peserta didik.
Akhirnya disadari bahwa sebagai upaya untuk memberdayakan dan membudayakan peserta didik,sudah saatnya lembaga pendidikan untuk lebih memprioritaskan model pembelajaran yang lebih berorientasi kepada pembentukan kepribadian peserta didik.Meskipun secara khsusus ada sekolah kepribadian,tetapi keberadannya terbatas dikota-kota besar dengan biaya yang relatif mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat umum lainnya khususnya golongan menengah ke bawah.
(Aplikasi IQ,EQ dan SQ pada lembaga pendidikan umum)
Oleh:Ilham Radi
(Pemerhati Pendidikan di Takalar)
Dari tragedi Bom Bali hingga tawuran antar pelajar
Serangkaian bingkai kekerasan hingga kepada teror bom yang marak beberapa bulan yang lalu menjadi isu sentral yang hangat dibicarakan mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas,diwarung kopi pinggiran hingga di kafe hotel berbintang .Kondisi ini dapat dikatakan sebagai salah satu indikasi betapa demoralisasi atau menurunnya ahlak telah melanda anak bangsa di negeri tercinta ini tanpa pandang bulu, dikota maupun didesa..Belum lagi kasus-kasus korupsi, isu suap,pembobolan Bank,pembajakan hak cipta dan sebagainya yang telah memporak-porandakan sistem peradilan dan hukum dinegara kita..Ironisnya akar permasalahan ini banyak dipicu oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal yang bukan tidak mungkin ada yang juara kelas ,jago mate-matika,menguasai IPTEK bahkan menjadi siswa teladan disekolahnya dahulu. .Sementara itu dalam kehidupan para pelajar, kita sudah terbiasa mendengar dan membaca dimedia,baik dimedia cetak maupun media eletronik, peristiwa merebaknya tawuran-pelajar yang melanda hampir semua daerah di Indonesia.Kejadian seperti ini sepertinya sudah menjadi “bumbu”dalam kehidupan pelajar kita,sudah bukan hal yang tidak lazim diera persaingan saat ini.
Beberapa indikasi merosotnya ahlak peserta didik
Ada fenomena menarik yang sering kita jumpai dalam kehidupan sosial dimasyarakat kita pada saat ini yakni adanya gejala semakin merosotnya ahlak dan moral peserta didik. Hal ini tercermin dari semakin mencuatnya ke permukaan beberapa persoalan yang memayungi langkah para pelajar kita.Bahkan ada yang sudah mengarah kepada tindakan criminal seperti pencurian,pemerasan.
Dalam konteks kehidupan persekolahan,sering dijumpai kasus-kasus yang mencerminkan betapa merosotnya ahlak peserta didik saat ini. .Kasus-kasus pelanggaran aturan sekolah yang sebenarnya telah disepakati sebelumnya untuk dipatuhi,hingga kepada kepribadian yang menyimpang,termasuk sikap kurang hormat terhadap guru sudah menjadi pemandangan biasa dihampir semua lembaga pendidikan.Ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab antara lain(1).kurangnya jiwa keagamaan dikalangan peserta didik,(2).suasana kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis,(3).perkembangan teknologi dan informasi,(4).tidak terlaksananya pendidikan kepribadian secara efektif disekolah-sekolah.
Jika dicermati,khususnya nomor (4) diatas,cukup realistis,mengingat dalam muatan kurikulum beberapa tahun sebelumnya,,pendidikan kepribadian (kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) tidak mendapat porsi waktu tersendiri secara monolitik. Keberadaannya tidak lebih dari sekedar “pelajaran-selingan “yang terintegrasi pada mata pelajaran lain,misalnya pada pelajaran kewaganegaraan atau pendidikan agama.Sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual yang diintensifkan,bersifat monolitik dan menjadi prioritas utama.Barulah dalam KBK 2004,keberadaannya (kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) mendapat tempat tersendiri(secara lugas dibuktikan dalam rapor dengan adanya kolom afektif),meskipun pengisiannya masih rawan subyektivitisme dan cenderung tidak obyektif. Hal ini karena pemahaman guru yang masih berpatokan pada paradigma lama dan menganggap,anak yang pintar tentulah kepribadiannya baik dan nilai afektifnya bias dipastikan tinggi..Padahal tidaklah demikian,karena kecerdasan emosional haruslah dievaluasi secara independent dengan membuatkan kriteria-kriteria penilaian yang bisa ditentukan oleh guru yang bersangkutan atau melalui musyawarah guru.
Jika dicermati secara lebih mendalam,fenomena diatas secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia ke depan khususnya yang berhubungan langsung dengan persaingan memperebutkan pasar kerja.Asumsi ini berkembang karena berdasarkan temuan-temuan ilmiah,80 % keberhasilan seseorang menggapai cita-cita hidupnya ditentukan oleh kecerdasan emosional dan spiritualnya.Sisanya 20 % ditentukan oleh kecerdasan intelektual yang dimiliki(Ginanjar;2000).
Solusi mencapai perbaikan ahlak
Upaya memperbaiki ahlak,,kepribadian dan moral peserta didik,pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama antara segenap stake holders(orang tua,pihak sekolah dan masyarakat).Upaya-upaya yang dapat dilakuakan antara lain(1)perbaikan ahlak dalam keluarga yang dapat dilakukan sejak dini.Keharmonisan hubungan dalam keluarga perlu dipertahankan,nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan,kebiasaan mengindahkan aturan serta penegakan aturan,(2)melaksanakan pendidikan kepribadian disekolah-sekolah,termasuk penegakan aturan-aturan sekolah sebagai pengatur interaksi di dalam lingkungan sekolah,(3)masyarakat seyogyanya”care”terhadap remaja,artinya masyarakat senantiasa memberi ruang gerak yang cukup bagi perkembangan pribadi remaja kea rah yang lebih positif,(4).peran pemerintah,melalui pembentukan wadah kepemudaan secara aktif mengadakan pembinaan-pembinanan.Selain itu aparat pemerintah haruislah memberi keteladan bagi masyarakat(remaja khususnya).Kasus-kasus kepribadian-ganda yang banyak menghisai kehidupan aparat-pemerintah,pembohongan-publik,korupsi,kolusi,nepotisme dapat menjadi preseden buruk bagi pembentukan kepribadian remaja, yang nota bene berada dalam masa pembentukan jati diri. Karena pada masa pertumbuhannya,kepribadian remaja terbentuk melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh(modeling).
Perlunya menyamakan persepsi
Saat ini dikembangkan sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan lebih care terhadap pembentukan kepribadian peserta didik dalam bentuk penghargaan terhadap keunikan-keunikan yang terdapat pada setiap peserta didik.Dalam KBK 2004 ,sekolah dianggap sebagai tempat dimana kepentingsn setiap pribadi peserta didik dihargai,dan diletakkan sebagai bagian integral dengan kepentinmgan bersama bahkan kepentingan nasional.
Dengan pola pembelajaran tuntas (mastery learning),semua peserta didik diharapkan mampu menyelesaikan semua materi pelajarandengan baik meskipun dengan waktu yang berbeda.
Sebagai sebuah kesadaran baru dalam dunia pendidikan ,pencerahan yang terjadi saat ini perlu direspon dengan sungguh-sungguh ,disikapi sebagai sebuah acuan dilapangan. Guru sebagai ujung tombak seyogyanya mampu mengikuti perkembangan yang terjadi ,meningkatkan kompetensinya sebagai bagian dari profesinya.Begitu pula dengan
pengawas yang memantau langsung dilapangan,perlu dibekali dengan kemampuan yang lebih”baru”,menguasai perkembangan dan mampu membaca perubahan yang ada sehingga setiap saat membawa inovasi bagi sekolah yang dipantau.
Pentingnya pembelajaran afeksi
Secara konseptual ada tiga aspek yang harus ditanamkan kepada peserta didik disekolah,yakni pengembangan aspek intelektuak,aspek keterampilan dan aspek kepribadian.Meskipun secara kontekstual,sekolah-sekolah lebih memusatkan perhatiannya untuk membina kemampuan intelektual,daya nalar dan keterampilan dalam menjawab soal-soal ujian.Aspek kepribadian hanya sebatas memenuhi tuntutan administrasi pada buku laporan perkembangan (pengisian kolom afektif).
Jika dicermati,sebenarnya dalam kehidupan persekolahan terdapat dua kurikulum yang satu sama lain saling melengkapi.Kurikulum yang nampak dan biasa kita baca adalah acuan proses pendidikan yang sifatnya lebih uniform.Adapun kurikulum yang tersembunyi (hidden kurikulum) subtansinya terdapat dalam diri setiap guru.Perwujudannya dalam bentuk kemampuan berimprovisasi pada saat proses belajar-mengajar berlangsung.Selain itu performa guru(sikap,tindakan dan cara menyelesaikan masalah) menjadi suatu hal yang turut berpengaruh bagi perkembangan jiwa peserta didik.
Akhirnya disadari bahwa sebagai upaya untuk memberdayakan dan membudayakan peserta didik,sudah saatnya lembaga pendidikan untuk lebih memprioritaskan model pembelajaran yang lebih berorientasi kepada pembentukan kepribadian peserta didik.Meskipun secara khsusus ada sekolah kepribadian,tetapi keberadannya terbatas dikota-kota besar dengan biaya yang relatif mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat umum lainnya khususnya golongan menengah ke bawah.